Para seniman hari Sabtu (21/7/2012) malam mendeklarasikan
“Sastra untuk Indonesia Lebih Baik” yakni kegiatan sastra untuk
memajukan, mencerdaskan dan mengharumkan citra Indonesia di
mancanagara.
Deklarasi digelar di Kantor Perhimpunan Penulis Tionghoa Indonesia (Yin
Hua Zuo Xie), Jakarta Barat dengan juru bicara Leonowens SP,
sastrawan dunia yang dikenal dengan karyanya “Mahaphrana”.
Ketua Yin Hua Zou Xie, Jeanne Laksana menyatakan, karya sastra
Indonesia sudah saatnya mendunia dengan keciriannya. Untuk itu, tengah
dirintis pula penerjemaahan karya sastra Indonesia kedalam bahasa
Mandarin. Bersamaan dengan itu, digelar apresiasi karya sastra untuk
buku “KADO”, “Aura” dan “Kalau kau Rindu Aku” masing-masing karya Soesi
Sastro dan Dharmadi.
“Karya sastra yang berhasil adalah karya yang mampu membawa
nilai-nilai universalitas,” ungkap Leonowens yang malam itu juga
bertindak sebagai salah satu pembahas. Eksistensi secara teoritis,
karya mereka, dipandang Leonowens berhasil menggabungkan beberapa
tipografi dari teknik penulisan puisi. Puisi karya mereka adalah karya
puisi untuk nilai-nilai dan bukan terbatas pada puisi untuk puisi
saja.
Kelebihan lain karya Soesi Sastro adalah cenderung pendek atau
minimalis, dan mempunyai patahan-patahan lafalan yang tidak jamak,
contoh “Paris, Eiffel Tanpa Aku.” Karya yang ditampilkannya dibuat alur
demi alur tentang perjalanan kehidupan yang dilalui sehingga
pembacanya menjadi semakin bisa memaknai puisi yang ditulis.
Di sini semakin nampak sebuah alur puisi yang mempunyai nilai
keindahan. Mungkin juga karena perempuan ini dipengaruhi oleh
aktivitasnya sebagai penggiat lingkungan hidup, sehingga proses
pemaknaan yang ditulis lebih komprehensif.
Karya kontemporer
Pembahas lainnya Ari MP Tamba, karya kedua penulis tersebut memiliki
kontemplasi yang kuat dalam stilistika sastra. Kekuatan pada rima,
metafora, dan prologis puisi menjadi kekuatan dari karya Dharmadi dan
Soesi Sastro, sehingga karya kedua orang ini layak dikatakan sebagai
karya kontemporer yang baik.
Zhou Fuyuan, sastrawan Tionghoa membandingkan karya puisi sastra
Indonesia dengan sastra Tionghoa, dua-duanya merenungkan tentang alam
dan kehidupan manusia yang kuat. Katanya, puisi mereka dapat diterima
dalam interpretasi sastra Tionghoa, tetapi cara memaknainya saja yang
berbeda. Ini karena perbedaan latar belakang budaya kedua penulis
tersebut dengan budaya Tionghoa.
Hadir pada acara tersebut, Free Hearty Doktor ahli sastra Timur
Tengah, Nani Tanjung, seniman teater, Endang Werdiningsih, pimpinan
majalah Kartini, Sutarno Sk sutradara, dan berbagai kalangan penulis di
Indonesia. “Kegiatan ini akan terus dilaksanakan secara rutin untuk
mengapresiasi karya-karya sastra Indonesia,” tambah Jeanne.
Diposkan oleh
Admin Iboekoe pada
21 Jul 2012 |
Beri Tanggapan
Kliping: Kompas.com, 22 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar