Sabtu, 09 Februari 2013

Kritik Sastra



KRITIK SASTRA
KRITIK IMPRESIONISTIK PADA CERPEN DAN SAJAK
Untuk memenuhi UAS Kritik Sastra
Dosen mata kuliah : Prof. Dr. Soedjiono, M. Hum



 







Oleh :
Erlin Winarto






UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2013

BAB I
LANDASAN TEORI

A.    Paham Penilaian Kritik Sastra
Menurut Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra, yakni: (a) relativisme, (b) absolutisme, dan (c) perspektivisme. Berikut ini akan dijelaskan tentang ketiga aliran kritik sastra tersebut:
1.      Relativisme
Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada tempat dan waktu terbitnya karya sastra. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri. Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di zaman dan tempat yang lain. Penilaian relativisme memang mengandaikan transferabilitas kualitas suatu karya sastra. Kaum relativis berkeyakinan bahwa, karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59). Contoh penilaian relativisme dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja untuk konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si Miskin dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin haruslahditerima sebagai karya sastra yang bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun (tempat/ lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan pada suatu tempat dan zaman tertentu dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.
2.      Absolutisme
Penilaian absolut Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis atau berdasarkan ukuran-ukuran yang sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis danNeo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para kritikus judicial menggunakan standar penilaian karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra tertentu sehingga sifat penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau absolut (periksa Pradopo, 1988:61). Di Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).

3.      Perspektivisme
Penilaian perspektivisme adalah paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai historis merupakan proses perjalanan karya sastra yang telah melewati atau melampaui zaman tertentu yang dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik, realisme, dan postmodernisme. Jadi, penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh kemungkinan yang lain. Paham ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan estetika resepsi atau resepsi sastra (tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zamandan subjek dalam penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kinidianggap sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare olehVoltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun kemudian VictorHugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada karangan-karangan Racine “dewa”drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatifitu dianut oleh kebanyakan kritikus.


B.     Bentuk Kritik Sastra
1.      Kritik Impresionistik
Kritik Impresionistik yaitu kritik sastra yang muncul sebagai produksi dari aliran individualisme romantik dan kesadaran akan diri yang lebih modern. Kritik ini menghubungkan pengalaman si penulis dengan karyanya (Coulter, 1930: 336). Sebaiknya, seorang kritikus mempunyai gaya yang bisa membuat hati pembaca terpikat dalam kedudukannya sebagai pembimbing juga penghubung antara pembaca dan karya sastra. Kritik impresionistik ini dapat bertindak sebagai penghubung antara para pembaca yang belum berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Sang kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan penghubung; lebih-lebih lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat sensitive terhadap efek-efek sastra,dan kalau karyanya tersebar luas dibaca oleh masyarakat; apalagi kalau dia memang seorang penulis kritik yang pintar dan berpengalaman serta mempunyai gaya yang dapat memikat hati para pembaca. Dengan demikian dia dapat memperkaya pengalaman para pembaca, terutama pengalaman imajinatif. Kritik Impresionistik ini juga merupakan kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat yang terasa dalam berdasarkan kesan-kesan atau tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yg ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra. Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus melakukan kritik praktis. Contoh paling konkrit adalah kritik sastra yang sering dilakukan HB Jassin. Kritik berada pada dunia pemikiran, jadi sebuah kritik itu akan berkembang walau orang hanya menilai suka dan tidak suka saja. Pada kritik atas buku Atheis yang dilakukan H.B. Jassin, ini merupakan bentuk dari kritik terhadap sebuah karya sastra. Contoh lain adalah setelah membaca novel laskar pelangi, kritikus langsung memberikankesan bahwa kualitas novel tersebut baik

2.      Kritik Judisial
Kritik judisial adalah suatu kritik yang berusaha mengemukakan penilaian atau penghakiman terhadap sesuatu karya sastra, serta menghubungkannya dengan norma-norma teknik penulisan ataupun standar-standar tujuan penulisan karyatersebut (Coulter, 1930: 336). Perlu ditegaskan lagi bahwa norma-normapenilaian, baik secara implicit maupun secara eksplisit tetap akan terdapat dalamsegala tipe kritik sastra, betapa pun impersonalnya kritik tersebut. Dalam kritik judisial ini “pengertian yang jelas dan tuntas mengenai suatukarya sastra seringkali sangat dibatasi dan dipersempit” (Shipley, 1962: 88). Hal ini sebenarnya tidak perlu kita herankan. Dalam zaman spesialisasi seperti yang kita alami kini, orang hanya memilih objek yang sempit, terbatas, tetapi diusahakan keterangan serta penjelasan seluas mungkin. Selanjutnya Rene Wellek dan Austin Warren menegaskan bahwa “kritik yudisial menaruh perhatian pada hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang dianggap sebagai sesuatu yang objektif. Yang dituntut dari kritik judisial adalah suatu pengklasifikasian yang begitu terperinci dan tajam terhadap para pengarangdan karyanya sesuai dengan kutipan dari yang berwenang atau menaruh perhatianpada sejumlah dogma teori sastra”. Menurut Abrams kritik Judisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerangkan efek- efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan pertimbangan- prtimbangan individual kritikus atas dasar yang umum tentang kehebantan dan keluarbiasaan.
Contoh: karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan keluasaan (intricacy, tension, width), karya sastra yang baik harus menunjukkansesutu yang baru, sesuatu yang aneh (making it new, making it strange), sastra yang baik harus memiliki satu kesatuan, dan keruwetan (unity and complexity).
3.      Kritik Induktif
Kritik induktif merupakan sejenis kritik yang bertujuan mengumpulkan fakta-fakta yang ada hubungan atau referensinya dengan sesuatu karya seni, metode-metodenya, hubungannya dengan waktu penciptaannya, serta menyusunnya menjadi suatu urutan dan susunan yang rapi, dan akhirnya melukiskannya dengan teratur. Hal ini sesuai dengan metode induksi dalam ilmu pengetahuan yang mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus. Kritik induktif adalah kritik sastra yang mengurangi bagian- bagian karya sastra berdasarkan fenomena- fenomena yang ada secara objektif. Kritikus pada paham ini meneliti karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti gejala alam secara objektif tanpa menggunakan standar yang berasal dari luar dirinya. Contoh kritik model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun. Aliran Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok penelitian sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan kritik baru Amerika (new criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J. U. Nasution, S. ; H.B. Jassin ; Boen S. Oemarjati; dll.  

BAB II
PENERAPAN

A.   Kritik Impresionistik cerpen “Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi” karya Zulidahlan.
1.      Sinopsis
Cerpen ini menceritakan seorang pemuda yang merasa terasingkan, sendiri, tanpa ada yang memperdulikannya. Apalagi saat itu si Aku hidup sebatang kara, ibunya telah tiada kemarin yang jasadnya masih terbaring dalam dipan kamarnya setelah berbulan- bulan menahan sakit. Bapaknya juga telah ditangkap, setahun yang lalu kemudian beruntun kakaknya perempuan, Mami; abangnya, Parlan dan seorang adik bapaknya, Tarto. Selain ditinggal para anak keluarganya, jauh sebelumnya para tetangga si Aku sudah menjauh dari keluarga si Aku. Entah apa yang harus dirasakan si Aku saat itu, perasaan dendam atau sedih.
Si Aku binggung bagaimana ia menyampaiakan kabar duka ini kepada masyarakat di desanya. Hubungan mereka tidak begitu baik, si Aku ragu kabar itu hanya dianggap angin lalu saja. Satu- satu jalan si Aku pergi ke tempat Kepala Desa, memberitahukan bahwa ibunya meninggal dunia jam tiga kurang tujuh menit.
Saat tiba di tempat Kepala Desa si Aku bertemu dengan Nif dan segera melaporkan berita itu namun kurang mendapat respon yang baik. Akhirnya tidak lama setelah bertemu Nif, seorang pemuda kurus menghampirinya dan menyambut baik si Aku. Si Kurus mendengarkan dengan seksama apa yang dibicarakan si Aku bahkan berniat memberi bantuan kemudahan untuk mengurus kematian ibu si Aku.
Bayangannya diperjalan pulang dari tempat Kepala Desa hanyalah ketakutan menyergap. Bayangan cerita- cerita bahwa tak seorang pun mau mengurusi jenazah- jenazah kami, orang- orang yang diasingkan ini. Bahkan tanah kubur pun haram kami tempati.
“Bertumpang- tindih pikiran- pikiran ini, seperti martil yang memalu batok kepalaku. Tuhan, kalau memang benar Kau ada, beri aku jalan. Kemana aku mesti melangkah? Aku tidak bisa berpikir.”  Tanpa sadar si Aku menyebut nama Tuhan, ini baru sekali selama si Aku hidup. Hati si Aku bergetar seolah- olah telah diingatkan oleh ibunya bahwa jangan lagi si Aku meneruskan dendam keluarga, minta maaflah karena keluarganyalah yang salah dan berbuat baiklah kepada sesama.
Setibanya dirumah, timbullah keberanian untuk mengabarkan berita duka itu kepada tetangga. Semua mereka terpekur dan bergumam kecil. Persis seperti pemuda kurus yang ditemui di kelurahan. Tidak ada perasaan benci di kebanyakan mata mereka.
Satu dua orang mulai datang kerumah si Aku. Bertanya ini itu tentang penyakit ibu dan tentang si Aku sendiri.
Si Aku berpikir bahwa, diantara mereka, yang mati maupun hidup itu, masih ada sesuatu. Yang selama ini di luar jangkauan keluarga si Aku, jangkauan orang- orang yang semacam keluarga si Aku.  Betapa agungnya Tuhan.
Sampai jenazah ibunya diusung, masih saja si Aku merasa dalam jangkauan Tuhan. Si Aku merasa aman dan sentausa dan tiada hentinya akan berterimakasih padaNya dan semakin tertedu karena Tuhan.

2.      Kritik Impresionistik
Cerpen ini menceritakan tentang satu keluarga yang merasa terasingkan oleh masyarakat. Entah apa salah mereka, namun banyak mata yang memandang mereka dengan sinis.  Sampai saat keluarga ini satu- persatu pergi. Bapak, kakak, pamannya yang ditahan setahun lalu yang sampai sekarang belum ada kabar, kemudian terakhir kabar duka bahwa ibunya telah meninggal setelah bertahun- tahun menahan sakit. Semua bagi si Aku sangat menyiksa hidupnya, si Aku tidak tau apa yang harus dilakukannya. Si Aku merasa sendiri, tidak ada sanak keluarga, tetangga bahkan seolah- olah Tuhan yang Maha Kuasa pun tidak berpihak padanya. Kematian ibunya membawa berkah buat si Aku. Dimana sejak kematian ibunyalah, si Aku mulai sadar dan mengetahui bahwa sebenarnya apa yang selama ini dipikirkannya salah.  Mata si Aku dibukakan oleh banyaknya tetangga yang datang berkunjung ke rumah si Aku saat ibunya meninggal. Mereka yang hadir tidak ada yang bermata sinis, semua penuh kehangatan dan ikut berduka atas meninggalnya ibu si Aku.
Cerpen ini menyadarkan saya bahwa betapa besar kuasa Tuhan dalam hidup manusia. Sekalipun mungkin manusia sering berbuat kesalahan  namun Tuhan tetap menaungi mereka. Tuhan tetep ada saat suka dan duka. Sepeti si Aku  merasakan saat kematian ibunya, hubungannya dengan Sang Penciptapun mulai terjalin setelah sekian lama selama si Aku hidup tidak pernah sekalipun berhubungan atau bahkan menyebut nama Tuhan.  Mungkin inilah pelajaran dalam hidup si Aku, bahwa dibalik kematian ibunya hatinya terbuka. Dan berharap ada pertautan dalam kekeluargaan seperti pagi itu.  Saya berpikir bahwa tokoh si Aku saja yang berada dalam kesulitan seperti itu bisa tetap merasakan kuasa Tuhan apalagi kita yang saat ini mungkin masih diberi kebahagian, mempunyai keluarga yang masih utuh dan hidup tidak dalam perasingan. Apakah kita masih menjalin hubungan baik dengan Tuhan? 
Hidup tidak selalu berada dalam keadaan suka namun suatu saat nanti pastilah tiap manusia ada dalam keadaan duka. Semuanya sudah digariskan sendiri oleh Sang Pencipta. Garis hidup manusia pun berbeda- beda, memperoleh kebahagian adalah hadiah namun apa jadinya saat manusia merasa sendiri, terasingkan mungkin mereka akan menganggap itu semua adalah kutukan dari Tuhan.  Kebahagian dan kesedihan itu relatif. Tergantung dari sudut mana kebahagian dan kesedihan itu di pandang. Saat manusia berada dalam kebahagiannya Tuhan ingin agar manusia tidak lupa diri dan mengucap syukur kepadaNya, sebaliknya jika manusia berada dalam kepahitan, kesedihan harapan Tuhan hanya satu yaitu manusia mau dekat dan berserah padaNya. Setelah membaca cerpen ini kita diingatkan disaat kita merasa sendiri, terasingkan belajarlah untuk tetap berserah pada Tuhan. Saat kita mau berhubungan dekat dengan Sang Pencipta maka kita kan mendapat pencerahan dan jalan keluar dalam permasalahan hidup kita. Seperti halnya si Aku yang dulunya merasa sendiri, terasingkan namun setelah kematian sang ibu, ia disadarkan untuk berhubungan dengan Tuhan sang Pencipta dan belajar hidup bersama dengan tetangga yang selama ini dianggap menjauhinya. Mungkin masalalu yang kelam menjadikan si Aku pernah menjadi pendendam. Namun perlu diketahui menjadi pendendam tidak dianjurkan dalam setiap agama. “Jangan belajar menjadi seorang pendendam namun belajarlah untuk menjadi seorang yang menyebarkan damai sejahtera di sekitarmu.” 


B.   Kritik Impresionistik sajak “Kabut” karya Goenawan Mohamad.
1.      Parafrasa
Mereka bertanya kepada siapa keadilan itu berpihak. Kepada Tuhan yang merupakan suatu kebenaran atau kepada sebuah kekelaman yang merupakan simbol dari kejahatan. Mereka merasakan ada bisik- bisik yang membuat wajahnya tertahan maksud wajahnya disini adalah wajah dari suatu keadilan atau kebenaran itu sendiri.
Mereka bertanya kembali kepada siapa keadilan ini akan perlahan turu. Kepada seorang yang tua atau kepada kami yang muda. Kepada kerja yang menghasilkan uang atau kepada sawah sepi yang tidak mengahasilkan apa- apa.

2.      Kritik Impresionistik
Pada sajak ini saya merasakan bahwa saat itu benar- benar tidak ada keadilan dalam masa itu. Padahal mereka sangat butuh akan keadilan itu. Seperti hidup ada putih dan ada hitam. Ada kebaikan dan ada kejahatan. mereka pun bertanya nantikan keadilan itu akan berpihak pada siapa? Kepada Tuhan yang merupakan suatu kebenaran atau kepada kelam yang merupakan simbolik dari kejahatan. semua penuh dengan keraguan. Keraguan itu muncul karena ada bujukan- bujukan dimana- mana. Dalam sajak ini juga memberi kita pelajaran untuk benar- benar berhati- hati dalam menjalani kehidupan ini. Jangan sampai kita terpengaruh dengan bisikan- bisikan dari kekelaman yaitu dari si Jahat. Sehingga, nantinya akan menghapus perlahan kebenaran dan yang ada hanyalah ketidak adilan.
Menurut saya sajak ini sangat cocok untuk pemerintahan di Indonesia ini. Kita ketahui keadilan di Indonesia ini sekarang sangat sulit kita jumpai. Bagi mereka keadilan itu bisa dibeli dengan materi (uang) atau dengan kedudukan.  Bagi mereka siapa yang beruang dan berkedudukan tinggi, mereka yang berhak mendapatkan keadilan. 
Padahal seharusnya, keadilan itu bukan dinilai dari materi ada kedudukan namun perlu dan sangat melibatkan kebenaran. Siapa yang benar itulah yang akan mendapat keadilan.

Tidak ada komentar: