KRITIK SASTRA
KRITIK IMPRESIONISTIK PADA CERPEN DAN SAJAK
Untuk
memenuhi UAS
Kritik Sastra
Dosen
mata kuliah : Prof. Dr. Soedjiono, M. Hum
Oleh :
Erlin Winarto
UNIVERSITAS
KANJURUHAN MALANG
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2013
BAB I
LANDASAN TEORI
A.
Paham Penilaian
Kritik Sastra
Menurut
Rene Wellek dan Austin Warrent, ada 3 (tiga) aliran kritik sastra, yakni: (a)
relativisme, (b) absolutisme, dan (c) perspektivisme. Berikut ini akan
dijelaskan tentang ketiga aliran kritik sastra tersebut:
1.
Relativisme
Relativisme adalah paham penilaian yang didasarkan pada
tempat dan waktu terbitnya karya sastra. Paham ini berkeyakinan bahwa nilai karya sastra melekat pada karya itu sendiri.
Bila ada karya sastra yang dianggap bernilai oleh masyarakat di suatu tempat
dan periode tertentu, karya sastra tersebut terus dianggap bernilai di zaman dan tempat yang lain. Penilaian relativisme memang mengandaikan
transferabilitas kualitas suatu karya sastra. Kaum relativis berkeyakinan bahwa, karya sastra yang
dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada konteks tempat dan zaman tertentu tidak memerlukan
penilaian lagi (Periksa Pradopo, 1988:59). Contoh
penilaian relativisme
dalam Sastra Melayu, yakni Hikayat
Si Miskin, dipandang memiliki nilai literer yang tinggi. Ketinggian nilai hikayat tersebut tentu saja
untuk konteks masyarakat Melayu dan pada saat hikayat tersebut diciptakan. Berdasarkan
penilaian zaman sekarang dapat dikatakan Hikayat Si Miskin tidak bernilai literer tinggi. Bahkan
mungkin menurut pandangan masyarakat Melayu sekarang atau masyarakat Eropa saat ini, Hikayat Si
Miskin dianggap tidak bernilai literer sama sekali. Meskipun demikian, kaum relativis tetap
berkeyakinan bahwa Hikayat Si Miskin haruslahditerima sebagai karya sastra yang
bernilai, dan akan tetap bernilai sampai kapan (waktu/zaman) dan di mana pun (tempat/ lokus). Jadi, penilaian relativisme yang diberlakukan
pada suatu tempat dan zaman tertentu
dianggap berlaku pula secara umum di segala tempat dan zaman lain yang berbeda.
2.
Absolutisme
Penilaian
absolut Paham penilaian absolut menilai karya sastra berdasarkan paham-paham
atau aliran-aliran nonliterer, seperti: politik, moral, filosofis, pedagogis
atau berdasarkan ukuran-ukuran yang
sifatnya dogmatis. Rene Wellek menunjukkan contoh golongan humanis baru, Marxis
danNeo Thomis yang memberikan penilaian terhadap karya sastra dengan
menggunakan ukuran-ukuran di luar sastra. Juga kaum kritikus judisial mengakui
adanya hukum-hukum tertentu, standar-standar (ukuran baku) tertentu untuk
memberikan penilaian terhadap karya sastra tertentu. Sebagai contoh, pada zaman renaissance para
kritikus judicial menggunakan standar penilaian
karya-karya Yunani Klasik serta Sastra latin terhadap kajian karya sastra
tertentu sehingga sifat
penilaiannya menjadi dogmatis dan konvensional. Cara-cara begini sedikit banyak menunjukkan penilaian yang sifatnya mutlak atau
absolut (periksa Pradopo, 1988:61). Di
Indonesia, kritik model ini berkembang pada tahun 60-an seperti penganut paham
bahwa sastra adalah seni bertendensi (seni untuk seni).
3.
Perspektivisme
Penilaian perspektivisme adalah
paham penilaian karya sastra dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan
menunjukkan nilai-nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya
sastra pada masa-masa berikutnya. Setiap karya sastra mengandung nilai
keabadian dan kehistorisan. Nilai keabadian terletak pada pemeliharaan
ciri-ciri khas yang dimiliki pada zamannya. Nilai historis merupakan proses
perjalanan karya sastra yang telah melewati atau melampaui zaman tertentu yang
dapat dirunut jejaknya, misalanya masa kesusastraan romantik, realisme, dan
postmodernisme. Jadi, penilaian perspektif mengakui adanya suatu karya sastra
yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, dan penuh
kemungkinan yang lain. Paham ini akhirnya berkembang menjadi pendekatan
estetika resepsi atau resepsi sastra (tanggapan pembaca). Contoh penilaian perspektif Lebih jauh, dapat
dikatakan bahwa paham perspektif mengakui adanya pengaruh zamandan subjek dalam
penilaian karya sastra. Sebagai contoh beberapa karya sastra yang kinidianggap
sebagai puncak-puncak kesusastraan, dulu diremehkan. Hamlet karya Shakespeare
olehVoltaire dianggap tulisan seorang yang seang mabuk, tetapi lima puluh tahun
kemudian VictorHugo menilai karya Shakespeare itu lebih tinggi daripada
karangan-karangan Racine “dewa”drama Perancis. Hallam, seorang kritikus Inggris
dari awal abad ke-19 penilaian yang senegatifitu dianut oleh kebanyakan
kritikus.
B.
Bentuk Kritik
Sastra
1.
Kritik
Impresionistik
Kritik Impresionistik yaitu kritik sastra yang muncul sebagai produksi dari aliran
individualisme romantik dan kesadaran akan diri yang lebih modern. Kritik ini
menghubungkan pengalaman si penulis dengan karyanya (Coulter,
1930: 336). Sebaiknya, seorang kritikus mempunyai
gaya yang bisa membuat hati pembaca terpikat dalam kedudukannya sebagai
pembimbing juga penghubung antara pembaca dan karya sastra. Kritik impresionistik ini dapat bertindak
sebagai penghubung antara para pembaca yang
belum berpengalaman dengan sejumlah karya sastra. Sang kritikus dalam hal ini dapat bertindak sebagai pembimbing dan
penghubung; lebih-lebih lagi kalau kritikus impresionistik ini sangat sensitive
terhadap efek-efek sastra,dan kalau karyanya tersebar luas dibaca oleh
masyarakat; apalagi kalau dia memang
seorang penulis kritik yang pintar dan berpengalaman serta mempunyai gaya yang dapat memikat hati para pembaca. Dengan
demikian dia dapat memperkaya
pengalaman para pembaca, terutama pengalaman imajinatif. Kritik Impresionistik ini juga merupakan kritik sastra yang berusaha menggambarkan dengan kata-kata sifat
yang terasa dalam berdasarkan kesan-kesan atau tanggapan-tanggapan
(impresi) kritikus yg ditimbulkan secara langsung oleh karya sastra.
Pelaksanaan Kritik model ini biasanya kritikus melakukan kritik praktis. Contoh
paling konkrit adalah kritik sastra yang sering dilakukan HB Jassin. Kritik berada pada dunia pemikiran,
jadi sebuah kritik itu akan berkembang
walau orang hanya menilai suka dan tidak suka saja. Pada kritik atas buku Atheis yang dilakukan H.B. Jassin, ini merupakan
bentuk dari kritik terhadap
sebuah karya sastra. Contoh lain adalah setelah membaca novel laskar pelangi, kritikus langsung
memberikankesan bahwa kualitas novel tersebut baik
2.
Kritik Judisial
Kritik
judisial adalah suatu kritik yang berusaha mengemukakan penilaian atau penghakiman terhadap sesuatu karya sastra, serta
menghubungkannya dengan norma-norma
teknik penulisan ataupun standar-standar tujuan penulisan karyatersebut
(Coulter, 1930: 336). Perlu ditegaskan lagi bahwa norma-normapenilaian, baik
secara implicit maupun secara eksplisit tetap akan terdapat dalamsegala tipe
kritik sastra, betapa pun impersonalnya kritik tersebut. Dalam kritik judisial
ini “pengertian yang jelas dan tuntas mengenai suatukarya sastra seringkali
sangat dibatasi dan dipersempit” (Shipley, 1962: 88). Hal ini sebenarnya tidak perlu kita herankan. Dalam zaman
spesialisasi seperti yang kita alami
kini, orang hanya memilih objek yang
sempit, terbatas, tetapi diusahakan
keterangan serta penjelasan seluas mungkin. Selanjutnya Rene Wellek dan Austin
Warren menegaskan bahwa “kritik yudisial
menaruh perhatian pada hukum-hukum atau prinsip-prinsip yang dianggap sebagai sesuatu yang objektif. Yang dituntut dari kritik judisial adalah suatu pengklasifikasian yang begitu terperinci dan
tajam terhadap para pengarangdan karyanya sesuai dengan kutipan dari yang
berwenang atau menaruh perhatianpada sejumlah dogma teori sastra”. Menurut Abrams kritik Judisial adalah kritik sastra yang berusaha
menganalisis dan menerangkan efek- efek karya sastra berdasarkan pokoknya,
organisasinya, teknik, serta gayanya; dan berdasarkan pertimbangan- prtimbangan
individual kritikus atas dasar yang umum tentang kehebantan dan keluarbiasaan.
Contoh:
karya sastra yang baik harus menunjukkan kerumitan, ketegangan, dan keluasaan (intricacy, tension, width), karya sastra
yang baik harus menunjukkansesutu yang baru, sesuatu yang aneh (making it new,
making it strange), sastra yang baik
harus memiliki satu kesatuan, dan keruwetan (unity and complexity).
3.
Kritik Induktif
Kritik induktif merupakan sejenis
kritik yang bertujuan mengumpulkan fakta-fakta yang ada hubungan atau
referensinya dengan sesuatu karya seni, metode-metodenya, hubungannya dengan
waktu penciptaannya, serta menyusunnya menjadi suatu urutan dan susunan yang
rapi, dan akhirnya melukiskannya dengan teratur. Hal ini sesuai dengan metode induksi dalam
ilmu pengetahuan yang mengambil
kesimpulan umum dari fakta-fakta yang khusus. Kritik induktif
adalah kritik sastra yang mengurangi bagian- bagian karya sastra berdasarkan
fenomena- fenomena yang ada secara objektif. Kritikus pada paham ini meneliti
karya sastra seperti ahli ilmu alam meneliti gejala alam secara objektif tanpa
menggunakan standar yang berasal dari luar dirinya. Contoh kritik
model ini di Indonesia adalah kritik sastra aliran Rawamangun. Aliran
Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya.
Kelompok penelitian sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan
kritik baru Amerika (new criticism).
Para pendukung aliran ini diwakili oleh J. U. Nasution, S. ; H.B. Jassin ; Boen
S. Oemarjati; dll.
BAB II
PENERAPAN
A. Kritik Impresionistik cerpen “Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka
Bumi” karya Zulidahlan.
1.
Sinopsis
Cerpen ini menceritakan seorang pemuda yang merasa
terasingkan, sendiri, tanpa ada yang memperdulikannya. Apalagi saat itu si Aku
hidup sebatang kara, ibunya telah tiada kemarin yang jasadnya masih terbaring
dalam dipan kamarnya setelah berbulan- bulan menahan sakit. Bapaknya juga telah
ditangkap, setahun yang lalu kemudian beruntun kakaknya perempuan, Mami;
abangnya, Parlan dan seorang adik bapaknya, Tarto. Selain ditinggal para anak
keluarganya, jauh sebelumnya para tetangga si Aku sudah menjauh dari keluarga
si Aku. Entah apa yang harus dirasakan si Aku saat itu, perasaan dendam atau
sedih.
Si Aku binggung bagaimana ia menyampaiakan kabar duka ini
kepada masyarakat di desanya. Hubungan mereka tidak begitu baik, si Aku ragu
kabar itu hanya dianggap angin lalu saja. Satu- satu jalan si Aku pergi ke
tempat Kepala Desa, memberitahukan bahwa ibunya meninggal dunia jam tiga kurang
tujuh menit.
Saat tiba di tempat Kepala Desa si Aku bertemu dengan Nif
dan segera melaporkan berita itu namun kurang mendapat respon yang baik.
Akhirnya tidak lama setelah bertemu Nif, seorang pemuda kurus menghampirinya
dan menyambut baik si Aku. Si Kurus mendengarkan dengan seksama apa yang
dibicarakan si Aku bahkan berniat memberi bantuan kemudahan untuk mengurus
kematian ibu si Aku.
Bayangannya diperjalan pulang dari tempat Kepala Desa
hanyalah ketakutan menyergap. Bayangan cerita- cerita bahwa tak seorang pun mau
mengurusi jenazah- jenazah kami, orang- orang yang diasingkan ini. Bahkan tanah
kubur pun haram kami tempati.
“Bertumpang- tindih pikiran- pikiran ini, seperti martil
yang memalu batok kepalaku. Tuhan, kalau memang benar Kau ada, beri aku jalan.
Kemana aku mesti melangkah? Aku tidak bisa berpikir.” Tanpa sadar si Aku menyebut nama Tuhan, ini
baru sekali selama si Aku hidup. Hati si Aku bergetar seolah- olah telah
diingatkan oleh ibunya bahwa jangan lagi si Aku meneruskan dendam keluarga,
minta maaflah karena keluarganyalah yang salah dan berbuat baiklah kepada
sesama.
Setibanya dirumah, timbullah keberanian untuk mengabarkan
berita duka itu kepada tetangga. Semua mereka terpekur dan bergumam kecil.
Persis seperti pemuda kurus yang ditemui di kelurahan. Tidak ada perasaan benci
di kebanyakan mata mereka.
Satu dua orang mulai datang kerumah si Aku. Bertanya ini
itu tentang penyakit ibu dan tentang si Aku sendiri.
Si Aku berpikir bahwa, diantara mereka, yang mati maupun
hidup itu, masih ada sesuatu. Yang selama ini di luar jangkauan keluarga si
Aku, jangkauan orang- orang yang semacam keluarga si Aku. Betapa agungnya Tuhan.
Sampai jenazah ibunya diusung, masih saja si Aku merasa
dalam jangkauan Tuhan. Si Aku merasa aman dan sentausa dan tiada hentinya akan
berterimakasih padaNya dan semakin tertedu karena Tuhan.
2.
Kritik Impresionistik
Cerpen ini menceritakan tentang satu keluarga yang merasa
terasingkan oleh masyarakat. Entah apa salah mereka, namun banyak mata yang
memandang mereka dengan sinis. Sampai
saat keluarga ini satu- persatu pergi. Bapak, kakak, pamannya yang ditahan
setahun lalu yang sampai sekarang belum ada kabar, kemudian terakhir kabar duka
bahwa ibunya telah meninggal setelah bertahun- tahun menahan sakit. Semua bagi
si Aku sangat menyiksa hidupnya, si Aku tidak tau apa yang harus dilakukannya.
Si Aku merasa sendiri, tidak ada sanak keluarga, tetangga bahkan seolah- olah
Tuhan yang Maha Kuasa pun tidak berpihak padanya. Kematian ibunya membawa
berkah buat si Aku. Dimana sejak kematian ibunyalah, si Aku mulai sadar dan
mengetahui bahwa sebenarnya apa yang selama ini dipikirkannya salah. Mata si Aku dibukakan oleh banyaknya tetangga
yang datang berkunjung ke rumah si Aku saat ibunya meninggal. Mereka yang hadir
tidak ada yang bermata sinis, semua penuh kehangatan dan ikut berduka atas
meninggalnya ibu si Aku.
Cerpen ini menyadarkan saya bahwa betapa besar kuasa
Tuhan dalam hidup manusia. Sekalipun mungkin manusia sering berbuat
kesalahan namun Tuhan tetap menaungi
mereka. Tuhan tetep ada saat suka dan duka. Sepeti si Aku merasakan saat kematian ibunya, hubungannya
dengan Sang Penciptapun mulai terjalin setelah sekian lama selama si Aku hidup
tidak pernah sekalipun berhubungan atau bahkan menyebut nama Tuhan. Mungkin inilah pelajaran dalam hidup si Aku,
bahwa dibalik kematian ibunya hatinya terbuka. Dan berharap ada pertautan dalam
kekeluargaan seperti pagi itu. Saya
berpikir bahwa tokoh si Aku saja yang berada dalam kesulitan seperti itu bisa
tetap merasakan kuasa Tuhan apalagi kita yang saat ini mungkin masih diberi
kebahagian, mempunyai keluarga yang masih utuh dan hidup tidak dalam
perasingan. Apakah kita masih menjalin hubungan baik dengan Tuhan?
Hidup tidak selalu berada dalam keadaan suka namun suatu
saat nanti pastilah tiap manusia ada dalam keadaan duka. Semuanya sudah
digariskan sendiri oleh Sang Pencipta. Garis hidup manusia pun berbeda- beda,
memperoleh kebahagian adalah hadiah namun apa jadinya saat manusia merasa
sendiri, terasingkan mungkin mereka akan menganggap itu semua adalah kutukan
dari Tuhan. Kebahagian dan kesedihan itu
relatif. Tergantung dari sudut mana kebahagian dan kesedihan itu di pandang.
Saat manusia berada dalam kebahagiannya Tuhan ingin agar manusia tidak lupa
diri dan mengucap syukur kepadaNya, sebaliknya jika manusia berada dalam
kepahitan, kesedihan harapan Tuhan hanya satu yaitu manusia mau dekat dan
berserah padaNya. Setelah membaca cerpen ini kita diingatkan disaat kita merasa
sendiri, terasingkan belajarlah untuk tetap berserah pada Tuhan. Saat kita mau
berhubungan dekat dengan Sang Pencipta maka kita kan mendapat pencerahan dan
jalan keluar dalam permasalahan hidup kita. Seperti halnya si Aku yang dulunya
merasa sendiri, terasingkan namun setelah kematian sang ibu, ia disadarkan
untuk berhubungan dengan Tuhan sang Pencipta dan belajar hidup bersama dengan
tetangga yang selama ini dianggap menjauhinya. Mungkin masalalu yang kelam
menjadikan si Aku pernah menjadi pendendam. Namun perlu diketahui menjadi
pendendam tidak dianjurkan dalam setiap agama. “Jangan belajar menjadi seorang
pendendam namun belajarlah untuk menjadi seorang yang menyebarkan damai
sejahtera di sekitarmu.”
B. Kritik Impresionistik sajak “Kabut” karya Goenawan Mohamad.
1.
Parafrasa
Mereka bertanya kepada siapa keadilan itu berpihak.
Kepada Tuhan yang merupakan suatu kebenaran atau kepada sebuah kekelaman yang
merupakan simbol dari kejahatan. Mereka merasakan ada bisik- bisik yang membuat
wajahnya tertahan maksud wajahnya disini adalah wajah dari suatu keadilan atau
kebenaran itu sendiri.
Mereka bertanya kembali kepada siapa keadilan ini akan
perlahan turu. Kepada seorang yang tua atau kepada kami yang muda. Kepada kerja
yang menghasilkan uang atau kepada sawah sepi yang tidak mengahasilkan apa-
apa.
2.
Kritik Impresionistik
Pada sajak ini saya merasakan bahwa saat itu benar- benar
tidak ada keadilan dalam masa itu. Padahal mereka sangat butuh akan keadilan
itu. Seperti hidup ada putih dan ada hitam. Ada kebaikan dan ada kejahatan.
mereka pun bertanya nantikan keadilan itu akan berpihak pada siapa? Kepada
Tuhan yang merupakan suatu kebenaran atau kepada kelam yang merupakan simbolik
dari kejahatan. semua penuh dengan keraguan. Keraguan itu muncul karena ada
bujukan- bujukan dimana- mana. Dalam sajak ini juga memberi kita pelajaran
untuk benar- benar berhati- hati dalam menjalani kehidupan ini. Jangan sampai
kita terpengaruh dengan bisikan- bisikan dari kekelaman yaitu dari si Jahat.
Sehingga, nantinya akan menghapus perlahan kebenaran dan yang ada hanyalah
ketidak adilan.
Menurut saya sajak ini sangat cocok untuk pemerintahan di
Indonesia ini. Kita ketahui keadilan di Indonesia ini sekarang sangat sulit
kita jumpai. Bagi mereka keadilan itu bisa dibeli dengan materi (uang) atau
dengan kedudukan. Bagi mereka siapa yang
beruang dan berkedudukan tinggi, mereka yang berhak mendapatkan keadilan.
Padahal seharusnya, keadilan itu bukan dinilai dari
materi ada kedudukan namun perlu dan sangat melibatkan kebenaran. Siapa yang
benar itulah yang akan mendapat keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar