Jumat, 07 Juni 2013

Sepotong Kayu Untuk Tuhan

Matahari sudah tinggi di pedusunan kecil itu, ketika lelaki tua terbaring di kursi panjang, di muka rumahnya. Ia berbuat demikian sejak pagi. Tak seorang pun akan menahannya berbuat itu! Isterinya tidak di rumah. Syukurlah aku bisa bikin anak! Dan anak itu bisa bikin cucu! Perempuan tua, isterinya, beberapa hari yang lalu mengatakan padanya, bahwa ia kangen setengah mati pada cucunya. Maka pergilah perempuan cerewet itu. Ia pergi dengan kereta terpagi kemarin.
Lelaki tua itu sendiri saja. Kalau tidak, tentu isterinya telah mencarinya, bila pagi-pagi dia berbaring saja macam sekarang. “Pergi pemalas!”, kata isterinya andaikata ia di rumah. Tetapi ia tak dirumah. Lelaki tua itu menjulurkan kaki sepuasnya, menyedot pipa sampai nafasnya terasa sesak. Sekaranglah ia benar-benar bebas. Seaptutnya ia pergunakan kebebasan itu untuk bermalas-malas: berbaring di kursi panjang menikmati langit, pohonan, dan kebunnya.
Rumah itu terletak dipinggir dusun, jauh dari tetangga. Tak seorang pun akan melihatnya berbaring sampai kapan pun. Dibelakang rumah adalah sungai kecil. Kebunnya melandai sampai menyentuh tepi sungai itu. Pohon-pohon meramaikan pekarangan. Alangkah berat kerjanya! kalau istri dirumah, dia akan disuruhnya membungkuk-bungkuk sepanjang kebun. Ada-ada saja. Kayu! Kayu habis! Alangkah kotor kebun kita! Ia harus bangkit cepat-cepat, kalau tidak ingin basah kuyup tubuhnya oleh siraman air istrinya. Kerja itu memang perlu, ia tahu. Hanya isterinya terlalu cerewet. Ia yang sudah seputih itu rambutnya masih saja dinilai sebagai pemalas. Persetan! Toh, istrinya tidak ada sekarang!.