Sabtu, 08 Maret 2014

CERPEN


Permberian Yang Terindah


Mengawali hari itu dengan termangu pada cendela kamarku. Sejak bunda pergi, hanya aku dan ayah yang tinggal di sini. Rumah kecil, sederhana, dan sampingnya ditumbuhi pohon singkong yang sering kami makan sebagai pengganti nasi ketika tidak ada sepeserpun uang yang dimiliki ayah. Aku sadar hidupku berbeda dari teman-teman sebayaku. Aku tidak begitu beruntung jika dibandingkan dengan mereka. Namun aku tetap menatap masa depanku, sekalipun belum tentu aku bisa meraihnya. Orang tuaku adalah inspirasi hidupku. Mereka selalu mengajarkanku untuk hidup sederhana, sekalipun dalam kekurangan selalu mengucap syukur. Aku bangga di lahirkan di keluarga kecilku ini.
Bagiku kepergian bunda adalah awal petaka dalam hidupku. Seperti sumbu yang habis terlalap oleh api. Tidak ada cahaya kehidupan. Hanya kekosongan yang penuh piluh, aku rasakan. Tidak ada belaian mesra yang membelai rambut panjangku. Tak ada malam yang penuh kehangatan, di mana aku terlelap tidur dalam pangkuan hangatnya usai berkeluh kesah tentang hidupku.
“Aku kangen Bunda, Yah,” kataku mendekati ayah.
“Doakan Bunda di sana, Nak,” kata ayah sambil memelukku.

Beruntung bunda memiliki suami seperti ayah, sosok kepala keluarga yang bertanggung jawab. Tidak peduli seberapa banyak keringat yang telah dicucurkannya. Semata-mata untuk kebahagiaan keluarga, bukan untuk dirinya sendiri. Ayahku adalah pahlawan bagi keluargaku.
Sesekali aku menggoreskan pena pada buku harian. Buku yang pernah di berikan oleh bunda kepadaku beberapa tahun yang lalu. Menuliskan semuanya yang aku rasakan saat ini. Termasuk aku utarakan rasa kangenku pada bunda di surga. Aku tulis juga perasaan banggaku pada ayah, satu-satunya keluarga yang aku punya saat ini. Waktu itu, sempat terlintas dalam pikiranku, apa gunanya buku harian ini? Namun aku sadar saat ini mungkin buku itu akan menjadi tempat mengaduku. Sekalipun aku tau, ada Tuhan yang setiap hari menjadi pendengar setia terhadap persoalan- persoalan yang kadang kelam dalam hidupku.
***
Pagi itu dengan semangat melangkahkan kakiku pergi ke sekolah. Langkah terhenti ketika pandanganku berpusat pada mereka yang asik berbincang di sudut lorong menuju kelasku. Aku mendengar tentang rencana mereka untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Hatiku miris ketika aku seolah terbangun dari mimpi indah yang akan menjadikanku sebagai mahasiswi di salah satu universitas. Namun sayang, semua hanyalah mimpi. Takdir yang membawaku pergi jauh dari impianku itu. Nanti, tamat SMA aku tidak akan bisa melanjutkan sekolah dan aku harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Keinginanku untuk kuliahpun tak luput aku tulis dalam buku harianku.
Akhir-akhir ini aku sering melihat ayah melamun. Entah apa yang menjadi lamunannya. “Kasihan Ayah”, kataku dalam hati. Seperti kuk, seberat itulah beban yang harus dipikulnya. Aku tidak mau menambah bebannya. Terlebih soal keinginanku untuk kuliah. Sebenarnya aku ingin berterus terang kepadanya, tetapi lidahku seakan membeku setiap kali aku melihat wajah ayah yang membuatku merasa tak tega. Ayah jarang dan bahkan tak pernah bertanya soal apa yang akan aku lakukan setelah lulus SMA. Aku berpikir, apa ayah tak peduli akan masa depanku? Aku mulai ragu pada ayah. Keraguanku tak membuat perubahan dalam diriku. Aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai anak yang baik dimatanya.
Malam itu, ketika hujan turun dengan lebat. Aku hendak mengajak ayah untuk bersantai di ruang tamu, sambil berbincang-bincang. Aku melihat di sela-sela pintu kamarnya yang sedikit terbuka, ayah memegang kaleng biskuit yang diambil dari bawah kolong tempat tidurnya. Apa isi kaleng itu? Sempat membuatku penasaran, namun aku abaikan. Aku tak begitu memikirkannya dan aku kembali ke kamar untuk beristirahat.
***
Beberapa hari ini kondisi kesehatan ayah memang menurun. Itulah yang menambah kekhawatiranku padanya. Ayah tidak mau dibawa ke dokter karena takut tidak mampu membayar biaya perawatan. Akhirnya ayah menahan rasa sakit itu. Hatiku merasa tercabik-cabik, aku tak berguna dan tak banyak yang bisa aku lakukan untuknya saat itu. Dua hari ayah terbaring di tempat tidur.
“Yah, ke pukesmas ya?” kataku membujuk ayah untuk diperiksa ke dokter.
“Tak usah, Nak. Ayah baik- baik saja. Wajar seperti ini, kan ayah sudah tua,” kata ayah menyakinkanku.
Di tengah kesunyian malam, saat mataku mulai terlelap dalam gelap, saat selimut mulai menyelimutiku dari dinginnya angin malam. Aku mendengar suara batuk hebat dari kamar ayah. Aku ingin beranjak dari tempat tidur, namun suara itu berhenti. Hatiku berkata, mungkin ayah sudah kembali terlelap dalam tidurnya. Keesokan harinya seperti biasa, sejak ayah sakit dan hanya menghabiskan waktunya dalam kamar, aku pergi ke kamarnya dengan membawakan segelas teh hangat agar sedikit memberikan kehangatan pada tubuh yang mulai rentah termakan usia. Aku berusaha membangunkan ayah. Aku pegang tangannya, aku rasakan dingin. Aku mulai panik dan takut terjadi sesuatu dengannya. Aku berusaha membangunkan ayah namun percuma, ayah tak kunjung membuka matanya untuk melihatku.
Aku berlari ke rumah salah satu mantri di desaku, yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Setelah diperiksa, ternyata ayah sudah meninggal. Pergi meninggalkanku sendiri disini. Saat aku mendengar kabar itu, sepertinya aku tak percaya. Hatiku menolak untuk ikhlas menerima kepergian ayah. Aku menangis, merontah- rontoh dan berusaha membangunkan ayah lagi. Tuhan begitu cepat menjemput ayah untuk kembali kepadaNya dan bersanding dengan bunda di surga. Sungguh aku tak percaya. Aku berharap semua hanya mimpi buruk di malam itu.
“Ayah… Ayah… Bangun Yah!” Kataku sambil terus mengoyangkan jasad ayahku yang kaku.
Inilah jalan hidupku saat ini. Aku hidup sebagai anak yatim piatu. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan dalam kesendirianku ini.
***
Aku ingin merasakan kehadiran ayah dalam rumah ini. Aku memberanikan diriku masuk ke kamarnya. Aku melihat di tembok kamar ayah terpampang foto kami bertiga:  ayah, bunda, dan aku. Aku memeluk erat frame foto itu. Aku ingin merasakan pelukkan hangat dari ayah dan bunda di saat-saat seperti ini. Tidak lama, mataku tertuju pada sebuah kaleng yang berada di bawah kolong tempat tidur ayah. Aku mengambil dan membuka kaleng itu. Aku benar-benar tak sanggup lagi berkata ketika melihat isi kaleng itu. Uang, brosur perguruan tinggi, dan sepucuk surat yang mampu membuatku meneteskan air mata.
Linda anakku sayang,
Mungkin saat kamu membaca surat ini ayah tak lagi ada di sampingmu, Nak. Ayah sudah tak tahan lagi menahan sakit ini. Ayah capek! Ayah tak mau melihat kamu, anakku sayang, menjadi terbebani gara-gara ayah. Kamu jadi anaknya ayah harus mandiri ya? Kamu harus kejar cita- citamu. Tunjukkan kepada dunia, kamu bisa meskipun kondisi kita saat ini hidup dalam kekurangan.
 Maaf kemarin ayah membaca buku harianmu. Ayah tau kamu ingin kuliah di Malang kan? Ayah sengaja menabung untuk biaya kuliahmu. Ayah menyisihkan uang untukmu, Nak. Hanya untukmu! Ini menjadi pemberian terakhir dari ayah untuk kamu. Ayah tidak tau uang ini cukup atau tidak. Tapi ayah harap kamu bisa kuliah. Ayah dan Bunda akan selalu ada di dalam hatimu, Nak.
            Tidak ada satu katapun yang dapat terucap setelah aku membaca surat dari Ayah. “Terima kasih ayah untuk pemberian yang terindah ini. Terima kasih juga untuk Bunda. Aku harap Ayah dan Bunda bangga kepadaku, seperti aku bangga memiliki orangtua seperti kalian. Apa yang aku lakukan saat ini dan seterusnya hanya aku persembahkan untuk kalian, Ayah dan Bunda di surga,” kataku dalam hati.

-Sekian-

Tidak ada komentar: