Permberian
Yang Terindah
Mengawali hari itu dengan termangu pada cendela kamarku. Sejak bunda pergi, hanya aku dan ayah
yang tinggal di sini. Rumah
kecil, sederhana, dan sampingnya ditumbuhi pohon
singkong yang sering kami makan sebagai pengganti nasi ketika tidak ada sepeserpun uang yang dimiliki ayah. Aku sadar hidupku
berbeda dari teman-teman sebayaku. Aku tidak begitu
beruntung jika dibandingkan dengan mereka. Namun aku tetap menatap masa depanku, sekalipun belum tentu
aku bisa meraihnya. Orang tuaku adalah inspirasi
hidupku. Mereka selalu mengajarkanku untuk hidup sederhana, sekalipun dalam kekurangan
selalu mengucap syukur.
Aku
bangga di lahirkan di keluarga kecilku ini.
Bagiku kepergian bunda adalah awal petaka dalam hidupku. Seperti sumbu
yang habis terlalap oleh api. Tidak ada cahaya kehidupan. Hanya kekosongan yang penuh
piluh, aku rasakan. Tidak ada
belaian mesra yang membelai rambut panjangku. Tak ada malam yang penuh
kehangatan, di mana aku terlelap
tidur dalam pangkuan hangatnya usai berkeluh kesah tentang hidupku.
“Aku kangen
Bunda, Yah,” kataku mendekati ayah.
“Doakan Bunda di sana, Nak,” kata ayah sambil
memelukku.
Beruntung bunda memiliki
suami seperti ayah, sosok kepala keluarga
yang bertanggung jawab. Tidak peduli seberapa banyak keringat yang telah
dicucurkannya. Semata-mata untuk kebahagiaan keluarga, bukan untuk dirinya
sendiri. Ayahku adalah pahlawan bagi keluargaku.
Sesekali aku menggoreskan
pena
pada buku harian. Buku yang
pernah di berikan oleh bunda kepadaku beberapa tahun yang lalu. Menuliskan semuanya yang aku rasakan saat ini. Termasuk aku utarakan rasa
kangenku pada bunda di surga. Aku tulis juga
perasaan banggaku pada ayah,
satu-satunya keluarga yang aku punya
saat ini.
Waktu itu, sempat terlintas dalam pikiranku, apa gunanya buku
harian ini? Namun aku sadar saat ini mungkin buku itu akan menjadi tempat
mengaduku. Sekalipun aku tau, ada Tuhan yang setiap hari menjadi pendengar
setia terhadap persoalan- persoalan yang kadang kelam dalam hidupku.
***
Pagi itu dengan semangat melangkahkan kakiku pergi ke sekolah. Langkah terhenti ketika pandanganku berpusat pada
mereka yang asik berbincang di sudut lorong menuju
kelasku.
Aku mendengar tentang rencana mereka untuk melanjutkan sekolah ke perguruan
tinggi. Hatiku miris ketika aku seolah
terbangun dari mimpi indah yang
akan menjadikanku sebagai mahasiswi di salah satu universitas. Namun sayang,
semua hanyalah mimpi. Takdir yang membawaku
pergi jauh dari impianku itu. Nanti, tamat SMA aku tidak akan bisa melanjutkan sekolah dan
aku harus bekerja untuk membantu
perekonomian keluarga. Keinginanku untuk kuliahpun tak luput aku tulis dalam buku harianku.
Akhir-akhir ini aku sering melihat ayah melamun. Entah apa yang menjadi lamunannya. “Kasihan Ayah”, kataku dalam hati.
Seperti kuk, seberat itulah beban yang harus dipikulnya. Aku tidak mau menambah bebannya. Terlebih soal
keinginanku untuk kuliah. Sebenarnya aku ingin
berterus terang kepadanya, tetapi lidahku
seakan membeku setiap kali aku melihat wajah ayah yang membuatku merasa tak
tega. Ayah
jarang dan bahkan tak pernah bertanya soal apa yang akan aku lakukan setelah
lulus SMA. Aku berpikir, apa ayah tak peduli akan masa depanku? Aku mulai ragu
pada ayah. Keraguanku tak membuat perubahan dalam diriku. Aku tetap menjalankan
kewajibanku sebagai anak yang baik dimatanya.
Malam itu,
ketika hujan turun dengan lebat. Aku hendak mengajak ayah untuk bersantai di
ruang tamu, sambil berbincang-bincang. Aku melihat di sela-sela pintu kamarnya
yang sedikit terbuka, ayah memegang kaleng biskuit yang diambil dari bawah
kolong tempat tidurnya. Apa isi kaleng itu? Sempat membuatku penasaran, namun
aku abaikan. Aku tak begitu memikirkannya dan aku kembali ke kamar untuk
beristirahat.
***
Beberapa hari
ini kondisi kesehatan ayah memang menurun. Itulah yang menambah kekhawatiranku
padanya. Ayah tidak mau dibawa ke dokter karena takut tidak mampu membayar biaya perawatan. Akhirnya ayah menahan
rasa sakit itu. Hatiku merasa tercabik-cabik, aku tak berguna dan tak banyak
yang bisa aku lakukan untuknya saat itu. Dua hari ayah terbaring di tempat tidur.
“Yah, ke
pukesmas ya?” kataku membujuk ayah untuk diperiksa ke dokter.
“Tak usah, Nak.
Ayah baik- baik saja. Wajar
seperti ini, kan ayah sudah tua,” kata ayah
menyakinkanku.
Di tengah kesunyian malam, saat mataku mulai terlelap
dalam gelap, saat selimut mulai menyelimutiku dari dinginnya angin malam. Aku mendengar suara batuk hebat dari kamar ayah. Aku ingin beranjak dari
tempat tidur, namun suara itu berhenti. Hatiku
berkata, mungkin ayah sudah kembali terlelap dalam tidurnya. Keesokan harinya seperti biasa, sejak ayah sakit dan
hanya menghabiskan waktunya dalam kamar, aku
pergi ke kamarnya dengan
membawakan segelas teh hangat agar sedikit memberikan kehangatan pada tubuh yang
mulai rentah termakan usia. Aku berusaha membangunkan ayah. Aku pegang tangannya, aku
rasakan dingin. Aku mulai panik dan takut terjadi sesuatu dengannya. Aku berusaha membangunkan
ayah namun percuma, ayah tak kunjung membuka matanya untuk melihatku.
Aku berlari ke
rumah salah satu mantri di desaku, yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Setelah diperiksa, ternyata ayah sudah meninggal.
Pergi meninggalkanku sendiri disini. Saat aku mendengar kabar itu, sepertinya
aku tak percaya. Hatiku menolak untuk ikhlas menerima kepergian ayah. Aku
menangis, merontah- rontoh dan berusaha membangunkan ayah lagi. Tuhan begitu
cepat menjemput ayah untuk kembali kepadaNya dan bersanding dengan bunda di
surga. Sungguh aku tak percaya. Aku berharap semua hanya mimpi buruk di malam
itu.
“Ayah… Ayah… Bangun Yah!” Kataku sambil
terus
mengoyangkan jasad ayahku yang kaku.
Inilah jalan
hidupku saat ini. Aku hidup sebagai anak yatim piatu. Aku tidak tau apa yang
harus aku lakukan dalam kesendirianku ini.
***
Aku ingin
merasakan kehadiran ayah dalam rumah ini. Aku memberanikan diriku masuk ke kamarnya. Aku melihat di tembok kamar
ayah terpampang foto kami bertiga: ayah,
bunda, dan aku. Aku memeluk erat frame
foto itu. Aku ingin merasakan pelukkan hangat dari ayah dan bunda di saat-saat
seperti ini. Tidak lama, mataku tertuju pada sebuah kaleng yang berada di bawah kolong tempat tidur
ayah. Aku mengambil dan membuka kaleng itu. Aku benar-benar tak sanggup
lagi berkata ketika melihat isi kaleng itu. Uang, brosur perguruan tinggi, dan
sepucuk surat yang mampu membuatku meneteskan air mata.
Linda anakku
sayang,
Mungkin
saat kamu membaca surat ini ayah tak lagi ada
di sampingmu, Nak. Ayah sudah tak tahan lagi menahan sakit ini. Ayah capek!
Ayah tak mau melihat kamu, anakku sayang, menjadi terbebani gara-gara ayah. Kamu
jadi anaknya ayah harus mandiri ya? Kamu harus kejar cita- citamu. Tunjukkan
kepada dunia, kamu bisa meskipun kondisi kita saat ini hidup dalam kekurangan.
Maaf kemarin ayah membaca buku harianmu. Ayah tau kamu ingin kuliah
di Malang kan? Ayah sengaja menabung untuk biaya kuliahmu. Ayah menyisihkan
uang untukmu, Nak. Hanya untukmu! Ini menjadi pemberian terakhir dari ayah
untuk kamu. Ayah tidak tau uang ini cukup atau tidak. Tapi ayah harap kamu bisa
kuliah. Ayah dan Bunda
akan selalu ada di dalam hatimu, Nak.
Tidak ada satu katapun yang
dapat terucap setelah aku membaca surat dari Ayah. “Terima kasih ayah untuk pemberian yang terindah ini. Terima kasih juga untuk Bunda. Aku harap Ayah dan
Bunda bangga kepadaku, seperti aku
bangga memiliki orangtua
seperti kalian. Apa yang aku lakukan saat ini dan seterusnya hanya aku
persembahkan untuk kalian, Ayah dan Bunda di surga,” kataku dalam hati.
-Sekian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar