Lelaki tua itu sendiri saja. Kalau tidak,
tentu isterinya telah mencarinya, bila pagi-pagi dia berbaring saja
macam sekarang. “Pergi pemalas!”, kata isterinya andaikata ia di rumah.
Tetapi ia tak dirumah. Lelaki tua itu menjulurkan kaki sepuasnya,
menyedot pipa sampai nafasnya terasa sesak. Sekaranglah ia benar-benar
bebas. Seaptutnya ia pergunakan kebebasan itu untuk bermalas-malas:
berbaring di kursi panjang menikmati langit, pohonan, dan kebunnya.
Rumah itu terletak dipinggir dusun, jauh
dari tetangga. Tak seorang pun akan melihatnya berbaring sampai kapan
pun. Dibelakang rumah adalah sungai kecil. Kebunnya melandai sampai
menyentuh tepi sungai itu. Pohon-pohon meramaikan pekarangan. Alangkah
berat kerjanya! kalau istri dirumah, dia akan disuruhnya
membungkuk-bungkuk sepanjang kebun. Ada-ada saja. Kayu! Kayu habis!
Alangkah kotor kebun kita! Ia harus bangkit cepat-cepat, kalau tidak
ingin basah kuyup tubuhnya oleh siraman air istrinya. Kerja itu memang
perlu, ia tahu. Hanya isterinya terlalu cerewet. Ia yang sudah seputih
itu rambutnya masih saja dinilai sebagai pemalas. Persetan! Toh,
istrinya tidak ada sekarang!.